Beranda | Artikel
Menafsirkan Al-Quran dengan Perkataan Tabiin
1 hari lalu

Menafsirkan Al-Qur’an dengan Perkataan Tabi’in adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Muqaddimah Tafsir. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Nasrullah, M.A. pada Sabtu, 23 Muharram 1447 H / 19 Juli 2025 M.

Kajian Islam Tentang Menafsirkan Al-Qur’an dengan Perkataan Tabi’in

إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ، وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ

“Sesungguhnya sebaik-baik dari kalangan tabi’in adalah seorang laki-laki yang bernama Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan pada tubuhnya terdapat belang (penyakit kulit).” (HR. Muslim)

Dan akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyembuhkannya, sehingga yang tersisa hanyalah sebesar dirham. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang lain, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan dari Yaman. Ia berasal dari kabilah Murad, kemudian dari Qarn. Dahulu ia menderita penyakit kulit (baradh), lalu Allah menyembuhkannya kecuali tersisa sebesar dirham. Ia memiliki seorang ibu yang sangat ia berbakti kepadanya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Maka jika engkau dapat memintanya untuk memohonkan ampunan kepada Allah bagimu, lakukanlah.” (HR. Muslim)

Umar bin Khattab pun menunggu kedatangan Uwais al-Qarni setiap kali rombongan haji dari Yaman datang. Ia bertanya, “Adakah di antara kalian yang bernama Uwais?” Hingga suatu hari Allah mempertemukan Umar dengan Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir dari Qarn?” “Ya,” jawabnya. “Engkau dulu punya penyakit kulit dan sembuh kecuali tersisa sebesar dirham?” “Benar,” jawabnya.

Setelah memastikan, Umar berkata, “Mintakanlah ampunan kepada Allah untukku.” Uwais pun mendoakannya.

Kemudian Umar bertanya, “Kau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah.” Umar berkata, “Maukah aku tuliskan surat kepada gubernur Kufah agar memperhatikanmu?” Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang biasa di tengah manusia.”

Tahun berikutnya, seorang dari kalangan bangsawan Yaman datang menunaikan haji dan bertemu Umar. Umar bertanya tentang keadaan Uwais. Orang itu menjawab bahwa mereka meninggalkan Uwais dalam kondisi miskin, tidak memiliki banyak harta.

Umar lalu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda…” lalu beliau menyampaikan hadits di atas.

Setelah orang tersebut kembali ke negeri asalnya, ia menemui Uwais dan berkata, “Mintakanlah ampunan kepada Allah untukku.” Uwais menjawab, “Engkau baru saja pulang dari safar yang mulia (dari haji). Engkau yang seharusnya memintakan ampun untukku.” Namun orang itu tetap meminta, dan bertanya, “Engkau bertemu Umar?” Uwais menjawab, “Ya.”

Akhirnya, Uwais pun memintakan ampun untuknya. Setelah itu, berita tentang keistimewaan Uwais tersebar, dan orang-orang pun mulai mendatanginya. Melihat hal itu, Uwais meninggalkan orang-orang tersebut.

Ini kisah yang ringkas. Namun kita bisa mengambil beberapa pelajaran.

Yang pertama, Uwis Al-Qarni termasuk golongan tabi’in. Jadi, ketika ada seorang hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam namun tidak bisa bertemu di masa hidupnya Rasulullah, maka orang ini disebut sebagai tabi’in. tidak bisa disebut sahabat. Ada seorang yang datang ke Madinah di hari wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Orang ini tidak bisa disebut sebagai sahabat. Beliau adalah tabi’in atau boleh disebut sebagai hampir sahabat, tapi belum menjadi sahabat. Adapun tabi’in adalah orang yang bertemu atau belajar kepada para sahabat radhiallahu anhum. Mereka disebut sebagai tabi’in. Dan yang paling afdal adalah Uwais al-Qarni.

Yang kedua, beliau berbakti kepada ibunya. benar-benar berbakti kepada ibunya. Yang mengatakan seperti itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

هُوَ بِهَا بَرٌّ

“Dia adalah anak yang berbakti kepada ibunya.” (HR. Muslim)

Dan tentunya ini merupakan salah satu keistimewaan Uwais al-Qarni dan keistimewaan berbakti kepada ibu.

Pelajaran berikutnya yang dapat kita ambil dari kisah singkat ini adalah bahwa hakikat kemuliaan sejati adalah kemuliaan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan di hadapan manusia. Kemuliaan di mata manusia bersifat relatif terkadang bergantung pada harta, nasab, jabatan, atau kekuasaan. Namun, di sisi Allah, kemuliaan itu hanya kembali kepada keimanan dan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Pelajaran terakhir yang dapat kita ambil adalah tawadhu‘ (rendah hati). Uwais al-Qarni rahimahullah, meskipun beliau mengetahui bahwa dirinya memiliki keistimewaan, namun tetap bersikap tawadhu‘ Dan inilah hakikat dari seorang wali.

Pada masa lalu, terdapat halaqah atau pusat-pusat keilmuan. Di antara ilmu yang diajarkan dalam halaqah tersebut adalah ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Di Makkah, terdapat sebuah pusat keilmuan yang dipimpin oleh seorang Syaikh dan imam besar dari kalangan sahabat, yaitu Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. Beliau tidak diragukan lagi merupakan seorang imam tafsir dari kalangan sahabat. Keistimewaan ini salah satunya karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mendoakan beliau:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah, berikanlah ia pemahaman mendalam tentang agama dan ajarkanlah ia takwil (tafsir).” (HR. At-Thabrani).

Ketika berada di Makkah, Abdullah bin Abbas memiliki beberapa murid yang dikenal sebagai generasi tabi’in, yaitu mereka yang belajar langsung dari para sahabat. Di antara murid-murid beliau yang terkenal dalam bidang tafsir adalah Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah (mawla Ibnu Abbas), Thawus bin Kaisan al-Yamani, dan Atha’ bin Abi Rabah. Mereka adalah para imam dan bintang dalam dunia tafsir yang namanya sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir.

Di Madinah, ada pula seorang sahabat yang ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan tafsir, yaitu Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau juga memiliki beberapa murid dari kalangan tabi’in, di antaranya Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. Sebagian dari mereka belajar langsung kepada Ubay bin Ka’ab, sementara yang lain belajar melalui perantara.

Selanjutnya, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu mengutus seorang sahabat mulia, Abdullah bin Mas’ud, ke Irak. Beliau adalah seorang yang alim, dan kedatangannya di Irak benar-benar membawa cahaya ilmu, termasuk ilmu tafsir. Banyak sekali imam dari kalangan tabi’in yang belajar langsung kepadanya. Di antara mereka yang terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda’, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdani, Amir bin Syurahil asy-Sya’bi (lebih dikenal sebagai Imam Asy-Sya’bi), al-Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi Rahimahumullahu Jami’an. Mereka semua adalah para imam mufasir dari kalangan tabi’in.

Pentingnya Merujuk pada Tafsir Tabi’in

Ada beberapa alasan mengapa tafsir dari generasi tabi’in menjadi rujukan penting.

Pertama, mereka menerima ilmu langsung dari para sahabat. Para sahabat adalah generasi yang belajar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga keilmuan mereka masih sangat murni. Para sahabat menyaksikan turunnya Al-Qur’an, mengetahui waktu dan sebab turunnya (asbabun nuzul). Para tabi’in adalah pewaris langsung dari ilmu tersebut.

Kedua, masa mereka masih bersih dari bid’ah dan hawa nafsu. Zaman mereka masih dekat dengan zaman kenabian dan termasuk dalam generasi emas yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Generasi setelah sahabat yang dimaksud adalah para tabi’in. Karena kedekatan masa ini, penyimpangan masih sangat sedikit, sehingga penafsiran mereka pun terjaga kemurniannya.

Ketiga, sedikitnya perselisihan di antara mereka. Meskipun ada perbedaan pendapat, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan generasi-generasi sesudahnya. Terkadang, perselisihan yang tampak di antara mereka sejatinya bukanlah perselisihan yang kontradiktif, melainkan perbedaan dalam variasi contoh atau redaksi (khilaf tanawwu’), yang pada hakikatnya tidak bertentangan.

Keempat, lisan mereka belum rusak oleh bahasa non-Arab. Mereka hidup pada masa ketika kemurnian bahasa Arab masih terjaga, belum tercampur dengan bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, meskipun mereka tidak secara khusus menulis kitab-kitab tentang linguistik, pada hakikatnya para sahabat dan tabi’in adalah imam dalam bahasa Arab. Perkataan mereka dapat dijadikan sebagai hujjah dan rujukan dalam masalah kebahasaan.

Karena alasan-alasan inilah, tafsir mereka menjadi sangat penting. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

إِذَا لَمْ تَجِدِ التَّفْسِيْرَ فِي الْقُرْآنِ وَلَا فِي السُّنَّةِ وَلَا وَجَدْتَهُ عَنِ الصَّحَابَةِ، فَقَدْ رَجَعَ كَثِيْرٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ فِي ذَلِكَ إِلَى أَقْوَالِ التَّابِعِيْنَ

“Jika engkau tidak menemukan tafsir di dalam Al-Qur’an, tidak pula dalam sunnah, dan tidak pula dalam perkataan sahabat, maka sungguh para imam merujuk pada perkataan-perkataan tabi’in.” (Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir).

Ibnu Taimiyah kemudian mencontohkan salah satu imam tabi’in, Mujahid bin Jabr, yang disebut sebagai “ayat (tanda kebesaran Allah) dalam tafsir”. Mujahid belajar secara mulazamah kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. Setiap ayat yang belum dipahaminya, ia akan berhenti dan menanyakannya, hingga ia mengkhatamkan Al-Qur’an beserta tafsirnya di hadapan Ibnu Abbas sebanyak tiga kali.

Sumber Rujukan Tafsir Tabi’in

Para tabi’in memiliki beberapa sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang pada dasarnya sama dengan sumber rujukan para sahabat, dengan satu tambahan.

  1. Al-Qur’an: Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya.
  2. Hadits: Merujuk pada penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  3. Perkataan Sahabat: Ini adalah tambahan yang membedakan mereka. Mereka merujuk pada penjelasan dari guru-guru mereka, yaitu para sahabat.
  4. Bahasa Arab: Menggunakan pemahaman mereka yang mendalam terhadap bahasa Arab yang murni.
  5. Israiliyat: Terkadang mereka merujuk pada riwayat dari Ahli Kitab.
  6. Ijtihad: Mereka juga menggunakan pemahaman dan ijtihad pribadi. Sebagai para mujtahid yang memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni, mereka mampu melakukan ijtihad. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang hanya memiliki pengetahuan dasar bahasa Arab lalu mencoba menafsirkan Al-Qur’an tanpa merujuk pada penjelasan para ulama salaf, yang mana hal tersebut sangat berbahaya.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55342-menafsirkan-al-quran-dengan-perkataan-tabiin/